Minggu, 30 Maret 2008

Mengapa harus nasi?

Makan Nasi
Apa yang membuat orang (baca: kami orang Indonesia) selalu merindukan nasi?
Memang nasi yang merupakan makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia, tapi apa salahnya kalau hanya untuk menggantinya dengan roti dan daging selama seminggu? Toh nasi atau roti sama-sama mengandung karbohidrat.
Take an example, kita pergi ke suatu negara yang lokasinya jauh dari Indonesia, dan kita mempunyai kesempatan untuk mengenal budaya mereka lebih dekat. Sudah sepantasnya kita mengenalnya dengan lebih mendalam, mengikuti kebiasaan mereka yang tidak merugikan kita. Kebiasaan yang paling sering bersentuhan dengan kita adalah pada saat jamuan makan, terdiri dari makanan dan minuman yang dihidangkan.
Makanan, kenapa lebih mudah merindukan nasi, dengan menghindari makan khas mereka? Dalam hal ini dikisahkan kita berada di Eropa, yang makanannya bukan makanan asing bagi kita, karena “hanya” burger, steak, dll.
Tidak demikian dengan minuman, mengapa kita bahkan mengikuti meminum sesuatu yang mengandung alkohol? Mengapa kalau minuman beralkohol malah digemari?I think, mengapa kita pergi jauh yang hanya sekejap (seminggu mungkin) harus bersusah payah mencari nasi?

So silly.

Aalen, Stuttgart

STUTTGART
Kata indah yang rasanya sudah sedemikian akrab di telinga, sejak masa-masa awal kuliah. Tapi kenapa? Setelah meninggalkan bangku kuliah lebih dari 10 tahun, keindahan kata Stuttgart belum memiliki jiwa. Teman-teman kantor bilang, karena itu merupakan kota industri mobil terkenal. Aku bukan pemerhati mobil, pada saat kata itu muncul pertama kali di benakku. Jadi mengapa?

15 Maret 2008.
Keberadaanku di Aalen, kota kecil di wilayah Baden-Wurttemberg, Jerman bagian barat daya memberiku pencerahan, apa arti Stuttgart. Dari host yang menjamu kami selama keberadaan kami di Aalen, kami mengetahui, atau lebih tepatnya, aku me-refresh ingatanku, bahwa Stuttgart memiliki universitas yang mumpuni di bidang fotogrametri. Ah, kenapa aku bisa lupa sedemikian parah ttg hal ini? Dan Aalen? Mempunyai perakitan kamera udara ternama. Lebih jauh lagi…. Zeiss, ah, itu lensa yang dipakai pada hampir semua produk alat ukur teliti di bidang geodesi/geomatik. Pabrik Zeiss ada di Oberkochen. Kata lain yang sering beterbangan di memoriku: Carl Zeiss Jena.
Ternyata tempat-tempat itu sudah sedemikian dekat dengan kunjunganku saat ini, ke Aalen, Oberkochen, Stuttgart.

15 – 20 Maret 2008

Senin, 10 Maret 2008

S2 di luar negeri?

Saya sering mendapatkan SP dari kantor untuk mengikuti seminar, presentasi atau pelatihan di luar TNI AU, yang berhubungan dengan pemetaan. Pada kesempatan seperti itu, saya selalu bertemu dengan teman-teman satu alumni S1. Kalau mereka membahas perkembangan ilmu di dunia pemetaan, saya kadang-kadang, atau mungkin juga sering merasa tertinggal. Yang ada dalam angan-angan saya, bagaimana caranya agar, paling tidak, saya tahu apa perkembangan terbaru di dunia pemetaan, dan yang bisa saya lakukan untuk TNI AU, atau sekali lagi paling tidak, untuk Dissurpotrudau. Terlalu muluk? Mungkin, kalau hanya saya yang berpikir seperti itu. Tapi harapan saya, dan saya yakin 30 lebih Perwira di Dissurpotrudau juga berpikir seperti apa yang saya pikirkan. Kalau kondisinya seperti itu, pemikiran saya bukanlah suatu pemikiran yang muluk, justru pemikiran yang sederhana dari seorang Pama.

Apa mungkin, melanjutkan sekolah pada jenjang S2?
Para dokter mendapatkan kesempatan mengambil program spesialist, juga S2. Kenapa yang lain tidak?
Pertanyaan itu yang ada di benak saya, sampai setahun yang lalu. Sebelumnya, informasi yang saya peroleh adalah S2 di dalam negeri, biaya dari TNI AU atau Mabes TNI, khusus buat para Gadik AAU. (Pemikiran yang salah?) Jadi, kesempatan yang ada hanya S2 luar negeri, tapi, bagaimana caranya? Dari mana dapatnya? Dari mana informasinya? Buntu.
Tiba-tiba, pada upacara Hari Bakti TNI AU di TMP Kalibata tahun lalu, salah seorang senior WARA dari Binprof Sus Mabes AU menawarkan kesempatan S2 di Australia, yang test nya akan dilaksanakan dalam tiga minggu setelah itu. Jadi ada? Dan ternyata tidak hanya di Australia saja.

Bagaimana jalannya?
Persyaratan yang paling berat adalah test kemampuan Bahasa Inggris. Saya bukan dari komuniti Bahasa Inggris, dan bahasa Inggris saya amburadul. Tetapi senior saya di kantor selalu mendorong kami, para Pama, untuk mengambil kursus bahasa Inggris di luar. Karena kami tahu, bahwa untuk mengikuti KIBI (Halim maupun Dephan) banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk kesempatan yang harus bergantian dengan teman sejawat maupun karena mendapatkan penugasan keluar dari satker. Mengikuti saran senior, saya sempatkan mengikuti kursus di LIA Pengadegan (belakang Lakespra Saryanto) selama hampir 2 tahun, 4 jam pertemuan seminggu. Pengorbanan tenaga, materi dan waktu. Namun nasib baik berpihak kepada saya. Awal Januari 2002 saya mendapat kesempatan untuk mengikuti test KIBI di Pusdiklat Bahasa Dephan. Terima kasih kepada Kadissurpotrudau (saat itu). Pada rapat staf, Beliau menawarkan, “Itu, kalau ada yang mau kursus, SP kan untuk test. Siapa saja, jangan yang tidak mau disuruh test” Dari situlah, saya melangkah untuk mempercepat kemampuan bahasa Inggris, dan saat itu saya tidak berhenti kursus di LIA, bahkan pada awal kursus bulan Maret 2002 saya sedang ujian kenaikan tingkat. Meskipun saya di KIBI masuk Advanced Class, saya masih tidak punya bayangan, bagaimana mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri. Apalah arti kemampuan bahasa Inggris saya, kalau dibandingkan dengan teman sekelas saya pada saat itu, mereka benar-benar mumpuni, dan sekarang sebagian dari mereka sedang S2 di luar negeri juga.


Susah?
Seleksi untuk mendapatkan Australian Defence Scholarship ini yang harus diikuti adalah test Bahasa Inggris, baik di Pusdiklat Bahasa Dephan (Pondok Labu) untuk test ADFELPS, maupun di IDP Pondok Indah untuk test IELTS. Mungkin bagi yang mengantongi kemampuan Bahasa Inggris, test ini tidak menjadi soal, terutama bagi komuniti Bahasa Inggris, asalkan ada peluang (ijin dari kantor). Namun bagi yang kemampuan Bahasa Ingrisnya pas-pasan, benar-benar susah. Kalau dibandingkan dengan test untuk candidate AusAID, candidate dari Defence lebih ringan persyaratannya. Kalau dari AusAID, ada test wawancara, diantaranya menanyakan apa kaitan antara program Master atau PhD yang akan mereka ambil dengan pekerjaan yang dilaksanakan sekarang. Tetapi untuk candidate Defence, tidak ada test wawancara, murni hanya kemampuan Bahasa Inggris, dan yang tidak kalah penting ijin dari Satker. Untuk ini terima kasih saya kepada Kadissurpotrudau, waktu itu dan yang sekarang, Kasubdis, serta Kabag Binprof di Dissurpotrudau (waktu itu).

Jurusan Apa?
Itu pertanyaan berikut yang ada di benak saya setahun yang lalu.
Daftar yang saya peroleh dari Binprof Sus maupun Disdik Mabes AU, yang nota bene diperoleh dari IDP, tidak mencakup bidang penugasan saya, pemetaan. Bagaimana mungkin saya akan mengambil program Master, kalau latar belakangnya saya tidak tahu? Namun setelah saya tanyakan ke staff Defence kedutaan Australia dan juga ke IDP Pondok Indah, mereka menjelaskan bahwa saya bisa mengambil jurusan apa saja, asalkan nilai test Bahasa Inggris (IELTS) saya memenuhi persyaratan dari universitas yang bersangkutan. Pernyataan yang melegakan. Kemudian apa?

Beruntung, saya mempunyai teman kuliah di S1 dulu yang sedang mengambil program Master di Australia. Saya bisa tahu perkembangan teman-teman kuliah S1 saya, karena kami punya mailing list di internet, dan paling tidak, seminggu sekali saya buka internet di rumah, untuk melihat kalau ada perkembangan, terutama di bidang keilmuan saya serta informasi dari teman-teman saya. Namun saya tidak search website, karena sambungan internet saya ‘dial up’ ke Telkom, jadi teman saya itu mengirimkan informasi universitas-universitas di Australia yang punya jurusan pemetaan, dan berdasarkan informasi itu saya search internet langsung untuk memutuskan universitas mana yang akan saya pilih, kalau nilai IELTS saya mencukupi. (kata ‘IELTS’ benar-benar suatu kata yang menyeramkan).
Ternyata, mau mengambil universitas mana saja di Australia, dan jurusan apa saja, bisa dan boleh, kesempatan terbuka lebar, kalau persyaratan Bahasa Inggris sudah terpenuhi. Jadi tidak hanya terpaku pada daftar yang ada di Disdik, nota bene daftar dari IDP. Karena IDP membuat dafatar itu berdasarkan jurusan yang selama ini sudah pernah di ambil mahasiswa Indonesia (TNI), dan IDP belum tahu jurusan apa saja yang dibutuhkan di TNI. Jadi mereka akan sangat terbantu, apabila kita tahu apa yang kita butuhkan.
Selain itu, pihak Australian Defence juga akan lebih senang, kalau kita kuliah benar-benar sesuai pekerjaan kita, bukan asal dapat kesempatan ke luar negeri. Hal ini terungkap pada ‘Monitoring Visit’ pihak Australian Defence dan IDP (Canberra) tanggal 14 Mei yang lalu di ‘The University of Melbourne’, universitas tempat saya kuliah. Mereka, Australian Defence dan IDP Canberra rutin melaksanakan ‘monitoring visit’ tiap semester ke universitas-universitas yang ada siswa dari Australian Defence Scholarship.

Apa selanjutnya?
Setelah saya lulus IELTS, yang diselenggarakan IDP Pondok Indah, kami berlima (2 TNI AU, 1 TNI AD, 1 TNI AL (KOWAL), dan 1 PNS) berangkat ke Melbourne, tepatnya ke Laverton (DITC), untuk belajar, lagi, Bahasa Inggris Australia, sekalian dengan budaya Astralia. Setelah 16 minggu, lagi, kami harus mengikuti test IELTS. Namun tahapan ini bisa berubah, tergantung kondisi setiap kelompok yang berangkat. Dan memang berbeda dengan kelompok yang berangkat berikutnya. Berdasarkan hasil test IELTS yang terakhir ini akan diketahui diterima di universitas mana.

Masuk Universitas, sulitkah?
Secara akademis, tergantung latar belakang ilmu yang diambil. Kalau jurusannya berbeda dari ilmu di S1, biasanya semester pertama untuk program Graduate Diploma, kemudian 2 semester berikutnya baru program Master. Itu kalau Program Masternya 1 tahun, bisa nyebrang jurusan, dan hal itu biasa terjadi di Australia, asalkan bisa cepat menyesuaikan dengan ilmu yang baru.
Tapi jurusan yang saya ambil, program Masternya memang sudah 3 semester. Master by coursework, 2 semester kuliah, 1 semester research, tapi untuk Master by research, 1 semester pertama kuliah, 2 semester research. Bedanya, kalau Master by research, untuk aplikasi ke program PhD (S3) proposal researchnya tinggal ‘selangkah’. Tetapi sayang, Australian Defence Scholarship sampai saat ini belum membuka kesempatan bagi anggota TNI untuk mengambil program PhD.

Secara non akademis, lagi-lagi tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Yang saya maksud di sini, pertimbangan status. Sampai hal ini terungkap pada pertemuan kami, (mahasiswa S2 dan siswa kursus pendek (DITC) yang ada di Melbourne), dengan Kapusdiklat Bahasa Dephan tanggal 2 Juni yang lalu, Beliau mengistilahkan, bagi yang bujangan, bebannya hanya 1, jadi wajar kalau nilainya dapat A. Bagi yang membawa serta keluarga, bebannya 2, jadi wajar kalau nilainya dapat A minus, atau B. Dan bagi yang sudah berkeluarga, namun tidak bisa mengajak keluarganya, bebannya akan menjadi 3, jadi, dengan nilai B atau C sudah wajar, karena beban moril berpisah dengan keluarga. Pada saat tulisan ini saya buat, di sini ada tiga senior saya dari TNI AU juga ke sini tanpa disertai keluarga.
Memang, kondisinya begitu, tapi bukan terus saya cukup puas kalau dapat C. Bukan itu yang saya mau. Saya akan berusaha yang terbaik.
Dalam hal ini, banyak senior atau teman-teman WARA yang sudah pernah kursus di DITC, atau tempat lain, yang bisa menceritakan, bagaimana beratnya hidup ‘sendiri’, jauh dari keluarga. Apalagi ditambah beban kuliah yang cukup berat.

Untuk pernyataan beban kuliah cukup berat ini, ada beberapa pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan, ‘Saya kuliah cukup santai saja, kenapa harus jungkir balik’. Ada yang berpendapat, ‘Ah, saya ngambil jurusannya yang ringan saja, biar nggak repot’. Ada juga yang mempertanyakan, ‘Apa yang saya cari dan nantinya saya dapatkan, dengan saya menyiksa diri cari tempat kuliah dan jurusan yang susah, tugas banyak, pakai research lagi’. Bahkan ada juga teman sesama peserta test komentar, ‘Ah, aku tidak lulus juga tidak apa-apa, toh, S2 juga tidak meningkatkan karir dan pangkat, yang penting kan jenjang sekolah di TNI AU diikuti dengan lengkap’. Mungkin semua ada benarnya.
Pemikiran orang memang lain-lain, dan semua akan berpulang ke pribadi masing- masing.

Memang bagi Kowan TNI, paling simple adalah yang datang ke sini (mengambil program S2 luar negeri) yang masih single. Karena tidak terbebani pemikiran ‘lain-lain’. Bagi yang sudah berkeluarga, kesempatan baik pula, apabila keluarga, suami dan anak-anak bisa ikut, bisa menambah pengalaman anak-anak, itu yang penting.
Terakhir bagi yang sudah berkeluarga, namun keluarga tidak bisa ikut, dengan berbagai pertimbangan, hal ini akan menjadi beban yang sangat berat. Beruntung saya mempunyai suami yang mendukung, karena kebetulan suami saya mempunyai latar belakang pendidikan yang sama dengan saya, jadi tahu persis apa yang sedang saya pelajari sekarang.

Siapa saja Kowan TNI yang sudah ke sini?
Sebelum saya masuk universitas, ada teman WARA yang kuliah di sini. Sebenarnya dia yang bisa menceritakan lebih banyak tentang bagaimana kehidupan di sini. Namun sudut pandang yang kami punya tentunya akan berbeda, karena status dan kemampuan Bahasa Inggris kami berbeda. Bagi dia dengan berbekal pengalaman hidup di Australia sebelumnya dan S1 Bahasa Inggris, untuk mendapatkan kesempatan ke sini tentu akan lebih mudah.
Sebelumnya ada juga senior dari KOWAD, dan dia bisa mengajak keluarganya. Selebihnya anggota TNI pria.
Harapan saya
Saya pernah mengajak dan menyarankan teman saya yang masih tinggal di mess WARA, mumpung masih belum ada ‘tanggung jawab’ carilah kesempatan, ya mungkin bisa dimulai dari kursus Bahasa Inggris di luar, atau kalau sore di Sebasa Halim (Skadik 505). Kalau ada kesempatan bisa dipecepat prosesnya dengan mengikuti KIBI (namanya juga intensif).
Senior saya di kantor selalu mengingatkan kami para Pama, siap-siap terus dengan kemampuan Bahasa Inggris, karena penawaran test tidak akan datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu, namun akan datang mendadak. Dan kemampuan bahasa tidak akan bisa didapatkan dalam sekejap, perlu proses yang cukup lama.
Dan kalau boleh saya berharap, semoga adik-adik WARA ada semangat dan kemauan untuk menempuh jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Meskipun saya tahu, kualitas diri tidak cukup diukur hanya dari satu sudut. Dan saya tahu juga, S2 bukan segala-galanya, masih banyak kualitas lain, yang patut untuk dikompetisikan menuju yang terbaik. Saya tahu persis itu. Kenapa adik-adik? Karena teman-teman saya atau senior saya mungkin pertimbangannya akan lebih banyak, terutama pertimbangan keluarga, kalau harus pergi cukup jauh dan lama.

Di sini saya hanya menggambarkan apa yang saya alami. Dan sebenarnya S2 tidak hanya di Australia saja (yang bukan biaya dari TNI AU atau Mabes TNI). Barangkali informasi yang lebih jelas tentang bagaimana mengikuti program Master bisa diperoleh di Disdik AU.

SELAMAT ULANG TAHUN WARA

Melbourne, 7 Juni 2003

Pemotretan Udara di Dissurpotrudau

ABSTRAK
Pemotretan udara yang dilaksanakan Dissurpotrudau sampai saat ini mempunyai beberapa kategori, berdasarkan tujuan pemotretan. Dengan demikian, pelaksanaan dan kamera udara maupun pesawat yang dipakai juga berbeda-beda. Pemotretan vertikal akan berbeda dengan pemotretan oblique, baik dilihat dari jenis kamera maupun pesawat yang dipakai, serta waktu yang diperlukan untuk proses penyelesaian foto udara yang dihasilkan.

Pendahuluan
Permukaan bumi merupakan bentuk permukaan yang tidak rata dan heterogen, yang terdri dari kenampakan alam maupun kenampakan buatan. Untuk memvisualisasikan permukaan bumi tersebut membutuhkan penanganan khusus yang dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Salah satu cara tersebut adalah memvisualisaikannya dengan memotret secara vertikal, yang disebut dengan pemotretan udara. Tugas pemotretan udara yang dilaksanakan oleh TNI AU diwujudkan oleh Dissurpotrudau.
Dissurpotrudau yang telah mempunyai pengalaman panjang di bidang pemotretan udara mempunyai berbagai peralatan, dari yang masih manual sampai yang menghasilkan data foto udara digital. Berbagai kamera tersebut berupa kamera udara konvensional maupun digital yang dapat digunakan untuk pemotretan oblique maupun vertikal. Untuk mendukung penggunaan peralatan tersebut, pesawat yang digunakan untuk mengangkut sensor kamera juga mempunyai spesifikasi khusus. Beberapa pesawat hanya dapat digunakan untuk melaksanakan pemotretan oblique saja.
Suatu misi pemotretan sudah tentu menghasilkan data yang harus dikelola lebih lanjut. Data dari kamera udara konvensional yang berupa film udara memerlukan penanganan yang berbeda dengan data foto dari kamera udara digital. Demikian juga penanganan data foto dari pemotretan udara oblique atau vertikal juga akan berbeda. Perbedaan proses data ini juga akan mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian kegiatan. Dengan demikian, setiap perbedaan tujuan pada misi pemotretan akan membawa perbedaan pada pelaksanaan, peralatan, pesawat yang dipakai, dan pada akhirnya akan berbeda waktu pelaksanaannya.

Peralatan Pemotretan Udara
Berbeda dengan pemotretan pada umumnya yang dilaksanakan untuk berbagai keperluan di darat, pemotretan udara memerlukan kamera udara yang mempunyai spesifikasi tertentu. Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh tujuan pemotretan yang dilaksanakan. Peralatan yang ada pada pemotretan udara terdiri dari kamera udara vertikal dan oblique, dengan masing-masing kamera tersebut berupa kamera udara konvensional yang menggunakan film maupun kamera udara digital.
Pemotretan udara yang menggunakan film dapat dipakai untuk pemotretan vertikal maupun oblique. Pemotretan udara vertikal menggunakan kamera metrik, yaitu RMK A atau RMK TOP. Masing-masing kamera udara menggunakan film berukuran 23 x 23 cm dengan panjang untuk 250 expose. Sedangkan kamera udara oblique menggunakan kamera Hasselblad dan Agiflite dengan film berukuran 60 mm dengan panjang untuk 12 expose. Untuk pemotretan udara yang menggunakan peralatan digital, sampai saat ini Dissurpotrudau menggunakan kamera medium format Hasselblad digital dengan ukuran CCD 36.9 x 36.9 mm dan kamera small format Nikon D1 X dengan ukuran CCD 34.6 x 21.9 mm.

Gb 1. RMK TOP di ruang simulasi
Gb. 2. RMK TOP di pesawat

KAMERA UDARA RMK TOPMembicarakan tentang sensor yang dipakai, maka wahana pengangkut sensor juga sangat penting untuk dibahas. Untuk pemotretan menggunakan kamera vertikal RMK, sampai saat ini pesawat TNI AU yang dapat digunakan hanya pesawat Cassa dari Skadron Udara 4, Lanud Abdul Rahman Saleh, Malang. Hal ini disebabkan pada lantai pesawat Cassa sudah dibuat beberapa lubang yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran lensa kamera. Sedangkan untuk pemotretan udara vertikal untuk kamera small format, selain Cassa juga Super Puma Skadron Udara 6 dan 8, Lanud Atang Senjaya. Pada pemotretan oblique, pesawat yang digunakan yaitu Cassa Skadron Udara 4, CN 235 dan Fokker dari Skadron Udara 2 Lanud Halim Perdanakusuma atau Boeing dari Skadron Udara 5, Lanud Hasanuddin, juga Super Puma. Pemotretan oblique dilakukan dengan cara memotret dari pintu pesawat yang dibuka, sedangkan pemotretan dilakukan dengan memegang kamera di pintu pesawat. Penggunaan pesawat tidak terpengaruh oleh penggunaan kamera, apakah pemotretan oblique tersebut menggunakan kamera konvensional atau kamera digital.

Data yang Diinginkan
Dengan mengacu pada tujuan pemotretan, maka dapat dipastikan data apa saja yang dibutuhkan dalam beberapa jenis pemotretan. Apabila data yang diinginkan merupakan data yang digunakan untuk pemetaan, maka semua faktor pengambilan data pemetaan harus dipersiapkan. Namun sebaliknya, apabila data yang diinginkan berupa tampilan data foto udara yang dapat digunakan untuk analisa data secara cepat, maka yang disajikan adalah data yang kurang teliti pada posisi suatu obyek, namun lebih jelas dan bagus untuk penampilan data. Berbeda pula untuk data sasaran di area tertentu yang bersifat area yang sempit, maka data yang disampaikan dapat berupa hasil foto oblique.
Untuk proses pemetaan, kamera yang dipakai yaitu RMK A atau RMK TOP. Kedua kamera itu menggunakan film udara ukuran 23 x 23 cm. Setelah film udara dicuci cetak, seperti proses cuci cetak manual, hanya berbeda ukuran film, maka akan didapat foto yang tercetak sesuai kebutuhan. Hasilnya dapat berupa foto udara di kertas, di negatif atau positif film. Setelah melalui proses pemetaan yang mendetil, maka didapat peta garis maupun peta foto. Peta foto diperoleh apabila data foto udara berbasis film dijadikan data digital. Pemetaan yang menggunakan film ini diprioritaskan untuk meproduksi peta skala besar, yaitu skala 1:20.000 atau yang lebih besar.
Kamera lain yang dipakai yaitu medium dan small format digital. Penggunaan kamera ini untuk penyajian data yang lebih memerlukan penampilan peta/foto. Dengan tipe data yan sudah digital dan berwarna, maka aspek penampilan lebih dapat diutamakan. Namun dengan adanya pemakaian GPS yang dihubungkan dengan kamera, maka foto udara yang dihasilkan juga mempunyai posisi yang terukur.
Kamera medium format yang dimiliki Dissurpotrudau yaitu Hasselblad digital dengan ukuran CCD 36.9 x 36.9 mm dan kamera small format Nikon D1 X dengan ukuran CCD 34.6 x 21.9 mm. Ukuran CCD ini akan menentukan luasan yang tercover untuk satu expose. Sebagai contoh perhitungan :
Untuk kamera Hasselblad, dengan menggunakan lensa yang mempunyai panjang fokus 50 mm, dengan tinggi terbang 10000 ft, maka :
skala foto yang didapat sebesar : 5 cm / (10000 x 33,3) = 1: 66.600
cakupan area : 3.69 x 66,600 = 245754 cm = 2457.54 m.
2457.54 x 2457.24 m
Untuk penyajian data pada keseluruhan area yang dipotret, maka membutuhkan banyak foto udara, dengan demikian foto udara yang telah dihasilkan perlu di susun sedemikian rupa agar menjadi satu dan menunjukkan wilayah yang lebih luas. Proses ini disebut proses mosaik.

Proses Pengolahan Data Foto Udara
Dengan data yang berbeda karakteristiknya, maka pengolahan data foto udara hasil pemotretan dengan kamera metrik dan kamera digital akan berbeda penanganannya. Film udara hasil dari kamera yang menggunakan film harus dicuci cetak terlebih dahulu. Proses selanjutnya tergantung tujuan pemotretan.
Kamera yang menghasilkan data digital akan menghemat waktu, karena hasil pemotretan langsung dapat dilihat. Selain itu, karena data langsung dapat di download, maka data juga langsung dapat diproses. Pemrosesan data juga tergantung pada tujuan pemotretan, apakah perlu sampai ke peta foto, mosaik terkontrol atau mosaik tak terkontrol. Pelaksanaan mosaik yaitu dengan menggabungkan foto-foto yang mencakup area pemotretan.

Kegunaan Pemotretan
Dengan dua jenis pemotretan yang ada, yaitu oblique dan vertikal, maka masing-masing teknik pemotretan tersebut mempunyai tujuan masing-masing. Pemotretan vertikal lebih banyak dipakai sebagai sarana penyiapan data untuk pemetaan. Sedangkan pemotretan oblique lebih banyak digunakan untuk memotret suatu obyek/target yang terpisah. Contoh penggunaan data hasil pemotretan vertikal yaitu untuk memetakan daerah Lanud, atau untuk penyiapan wilayah yang dipakai untuk Angkasa Yudha. Sedangkan contoh pemotretan oblique yaitu untuk pelaksanaan patroli maritime, patroli ‘Eyes in the Sky’ (EIS) yang dilaksanakan di Selat Malaka, atau pemotretan sasaran penembakan sebelum dan sesudah latihan. Selain itu, pada beberapa kesempatan, pemotretan oblique juga digunakan untuk pemotretan berbagai gedung/kantor milik TNI AU, misalnya gedung Mabesau, kantor Koopsau, Kodikau, Kohanudnas, dan lain-lain.
Sejauh ini, semua jenis pemotretan denagn berbagi sarana dan teknik pelaksanaannya telah banyak memberikan data-data masukan kepada TNI AU maupun TNI, serta mendukung pelaksanaan pembangunan.

Observer Pemotretan Udara (OPU)

ABSTRAK
Observer Pemotretan Udara (OPU) merupakan salah satu spesialisasi di bidang survei pemotretan. Tugas utama OPU adalah melaksanakan semua tahapan pemotretan, mulai dari mission planning, pelaksanaan pemotretan, sampai pada tahap pelaporan. Spesialisasi ini memerlukan pendidikan khusus tentang segala seluk beluk dunia pemotretan udara, mulai dari teori sampai pada pelaksanaannya. Untuk me-maintain kemampuan tersebut, dilaksanakan profesiensi secara rutin setiap tahun.
=================================================

Pendahuluan
Sebagai badan pelaksana pusat tingkat Mabesau yang salah satu tugas pokoknya adalah melaksanakan dan mengembangkan proses serta produk pemotretan udara, maka menjadi suatu kewajiban bahwa sebagian besar personel Dissurpotrudau mempunyai kemampuan dalam bidang pemotretan udara. Kemampuan tersebut dapat dipelajari dan dikuasai oleh setiap personel yang berkecimpung didalam lingkup kedinasan ini, sehingga dapat mendukung tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Dengan demikian, kemampuan untuk mendukung tugas-tugas tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal. Kemampuan OPU dapat diterapkan dalam berbagai penugasan di TNI AU. Seiring dengan berjalannya waktu, kemampuan tersebut harus tetap dijaga dan apabila memungkinkan juga dikembangkan dengan mengikuti kegiatan profesiensi yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang.

Peran dan Tugas OPU
Dalam rangka mewujudkan terlaksananya tugas pemotretan udara, maka peran dan tugas OPU menjadi bagian penting dari siklus pelaksanaan tugas yang harus diselesaikan. Peran OPU adalah memastikan bahwa semua tugas dalam penyelesaian misi pemotretan dapat terlaksana dengan benar dan sesuai prosedur. Sedangkan tugas yang harus dilaksanakan yaitu mengaplikasikan semua tahapan dalam pemotretan udara dan mengolah hasilnya sehingga terwujud suatu gambaran permukaan bumi yang disusun dari banyak foto udara yang telah dihasilkan.
Suatu misi pemotretan udara melibatkan beberapa pihak luar di luar lingkungan Dissurpotrudau, sehingga peran OPU menjadi penting untuk dipahami dan dilaksanakan. Pelibatan dengan pihak luar disebabkan keberadaan pesawat yang digunakan untuk pemotretan bukan berasal dari intern Dissurpotrudau, namun dari Skadron Udara lain, yaitu Skadud 4, Lanud ABD apabila menggunakan pesawat Casa 212, Skadud 2 Lanud HLM apabila menggunakan pesawat Fokker atau CN 235, Skadud 5 Lanud HND apabila menggunakan pesawat Boeing. Perbedaan jenis pesawat yang digunakan tergantung pada tujuan dari misi pemotretan, apakah pemotretan oblique atau vertikal. OPU harus memastikan bahwa dapat terjalin komunikasi dan koordinasi dengan crew pesawat sehingga tugasnya dapat terlaksana. Selain itu, untuk memotret suatu daerah, kooordinasi dengan pejabat di daerah tersebut juga harus dilaksanakan, dengan melaporkan batas area yang akan dipotret, dan apabila memungkinkan, disertai dengan melaporkan tujuan pemotretan yang akan dilaksanakan.
Selain peran yang harus dilaksanakan, OPU juga mempunyai tugas-tugas lain yang harus dikerjakan. Tugas awal yaitu melaksanakan mission planning dengan merencanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan pemotretan udara. Di dalam mission planning, pekerjaan yang dilaksanakan yaitu membuat jalur terbang untuk pemotretan, kemudian jalur tersebut diplot di peta, di komputer, dan di GPS navigasi. Pengeplotan jalur terbang di GPS digunakan sebagai acuan penerbangan bagi Penerbang. Perhitungan pembuatan jalur terbang ini berdasarkan skala foto udara yang direncanakan. Kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan peralatan pemotretan yang akan digunakan, termasuk jenis kamera beserta peralatan pendukungnya. Pemilihan jenis kamera berdasarkan pada jenis pemotretan yang dilaksanakan, apakah pemotretan oblique atau pemotretan vertikal, atau pemotretan menggunakan kamera film atau kamera digital. Peralatan pendukung meliputi laptop, GPS, baterai, serta kabel-kabel penghubung antara kamera-komputer-GPS. Pengecekan terhadap peralatan dan peralatan pendukungnya selalu diulang sampai pelaksanaan pemotretan dimulai. Selama pelaksanaan pemotretan, OPU harus menjaga agar pesawat on track, dengan selalu berkoordinasi dengan Penerbang untuk menerbangkan pesawat pada jalur yang sudah ditetapkan tersebut, dan menjaga agar kamera udara tetap dapat berfungsi. Ada perbedaan teknis dalam menjaga agar pesawat tetap berada di jalur pemotretan pada jaman dahulu dengan kondisi saat ini. Pada awal masa pemotretan, tahap ini dilakukan dengan cara visual, yaitu menghapalkan dan menandai jalur yang dipotret dan jalur di sebelahnya, kemudian menyampaikannya kepada Penerbang. Namun saat ini, dengan perkembangan teknologi GPS, maka pengarahannya dapat dilakukan berdasarkan navigasi dari GPS. Perekaman jalur dan nomor foto udara juga harus dilaksanakan, dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan finishing di kantor, yaitu layout dan proses mosaik. Apabila pelaksanaan pemotretan telah selesai, maka perlu ada pelaporan.

Pendidikan OPU
Pendidikan untuk membentuk seseorang agar menjadi OPU dilaksanakan secara formal maupun non formal, baik di luar negeri, di dalam negeri, maupun di lingkungan TNI AU. Pendidikan di luar negeri pernah dilaksanakan oleh salah satu personel Dissurpotrudau di ITC Belanda. Pendidikan di dalam negeri secara non formal juga pernah dilaksanakan oleh beberapa personel Dissurpotrudau, yaitu dengan cara bergabung dengan institusi non pemerintah untuk melaksanakan praktek pemotretan. Jenis pendidikan ini dilaksanakan oleh personel yang sudah mempunyai jam terbang banyak namun belum memperoleh bukti kualifikasi secara formal. Hal ini dilaksanakan berkaitan dengan jam terbang pemotretan. Sedangkan pendidikan di lingkungan TNI AU dilaksanakan dengan membuka Pendidikan Kualifikasi Khusus Observer Pemotretan Udara (Dikkualsus OPU) pada tahun 2001.
Dikkualsus OPU dilaksanakan selama lima bulan, dengan materi pelajaran diambilkan dari materi yang didapat dari pendidikan pemotretan di ITC Belanda, namun tetap menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Pada akhir pendidikan, dilaksanakan praktek pemotretan (Latis) dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan pemotretan dengan beberapa jalur pemotretan, baik secara visual maupun menggunakan navigasi GPS.

Penugasan
Dari awal keberadaan Dissurpotrudau, OPU sudah melaksanakan berbagai penugasan, baik untuk keperluan dalam mendukung operasi udara dalam operasi militer untuk perang maupun selain perang. Beberapa penugasan OPU misalnya untuk pelaksanaan pemotretan di Timor-Timur dan Aceh. Selain itu juga mendukung data untuk latihan, baik di tingkat Koopsau, TNI AU maupun TNI. Untuk pemotretan oblique, saat ini OPU juga tergabung dengan personel pelaksana patroli di Selat Malaka, yaitu ‘Eyes in the Sky’ (EIS).
Program kerja Dissurpotrudau yang menugaskan OPU yaitu pemotretan udara vertikal untuk pembuatan peta situasi lanud, untuk penyajian peta lanud/bandara pada pembuatan buku reference point, pemotretan lahan TNI AU, serta pemotretan pulau-pulau kecil terluar Indonesia. Selain itu, dalam mendukung program pembangunan, khususnya yang menyangkut recovery daerah bekas bencana, OPU juga ditugaskan untuk memotret daerah bencana, misalnya wilayah korban bencana tsunami di NAD dan gempa di Yogya/Jateng baru-baru ini. Dalam kaitannya dengan bencana alam, sesuai telegram Pangkoopsau I, di Dissurpotrudau dibuat daftar standby crew pemotretan yang dijadwalkan tiap minggu secara bergantian.

Menjaga Kemampuan
Suatu keahlian membutuhkan langkah untuk menjaga agar keahlian yang dimiliki tetap ada. Dalam menjaga kemampuan OPU, Dissurporudau mengadakan profesiensi yang dilaksanakan setiap tahun secara rutin. Tempat pelaksanaan profesiensi bergantian antara di Halim area atau Malang area. Area yang dipilih berdasarkan home base kamera atau pesawat. Hal ini disebabkan oleh keberadaan kamera udara berada di Dissurpotrudau, Lanud Halim, sedangkan pesawat untuk pemotretan berada di Skadron Udara 4 Lanud Abdul Rahman Saleh, Malang. Personel yang mengikuti profesiensi terdiri dari OPU maupun calon OPU/personel Dissurpotrudau yang mempunyai kemampuan pemotretan.
Selain untuk profesiensi OPU, pelaksanaan pemotretan ini juga untuk profesiensi Penerbang, agar keahlian mereka dalam menjaga pesawat tetap pada jalur pemotretan (on tarack pada heading tetap) tetap terjaga. Kemampuan Penerbang ini harus tetap dimiliki, karena pada pemotretan udara vertikal, toleransi maksimal yang diperbolehkan untuk keluar dari jalur pemotretan adalah 100 meter ke kanan atau ke kiri jalur. Selain itu, kecepatan pesawat juga harus tetap pada kecepatan yang sama selama dalam area pemotretan.
Pada prinsipnya, untuk mendapatkan hasil maksimal pada suatu misi pemotretan, ketrampilan OPU dan Penerbang menjadi satu kesatuan aspek yang harus dimiliki team, selain juga lancarnya koordinasi.

EYES in the SKY (EiS)

Apa yang terlintas di benak kita, warga TNI AU, apabila kita mendengar kata EIS? Pastilah bagi sebagian besar personel akan mengatakan “Oh itu, programnya Disinfolahtaau untuk membuat basis data yang dapat memberikan informasi kepada Pimpinan TNI AU dalam pengambilan keputusan berdasarkan data tentang sarana prasarana dan sumber daya manusia yang menjadi kekuatan TNI AU”. Jawaban demikian tentu saja benar, karena program tersebut memang ada dan masih di-update oleh Disinfolahtaau.

Namun dalam tulisan ini, EiS yang akan dibahas adalah Eyes in the Sky (EiS). Penulis yakin, bagi personel yang dalam kedinasannya dekat dengan bidang operasi militer, pastilah tahu apa yang penulis maksudkan tentang EiS ini.

Latar Belakang EiS

Tentu pembaca pernah mendengar bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan salah satu selat tersibuk di dunia. Bayangkan saja apabila dalam satu tahun ada sekitar 50.000 kapal melewati selat dengan panjang 960 km atau 600 mil, dimana jumlah tersebut merupakan 1/3 barang perdagangan dunia dan ½ barang perdagangan minyak dunia. Kapal yang melewati selat ini merupakan kapal dagang, kapal tanker maupun kapal penumpang.

Di selat tersebut terdapat selat tersempit, yaitu Phillips Channel di Selat Singapura. Pada area sempit tersebut, terjadi penumpukan kapal yang akan lewat. Pada kondisi tersebut, akan timbul banyak tindak kejahatan, misalnya perompakan bersenjata, pembajakan, pencurian dan sebagainya. Dengan semakin banyaknya tindak kejahatan yang terjadi di Selat Malaka dan Selat Singapura, situasi ini memancing reaksi negara-negara yang mempunyai kapal melalui selat tersebut, karena dapat mengganggu kelancaran pengiriman barang maupun keselamatan penumpang. Puncak reaksi ini adalah datangnya tawaran Amerika, Australia, Jepang, China dan negara lainnya untuk mengirimkan bantuan dalam menjaga keamanan wilayah perairan tersebut dengan mengirimkan pasukan.

Tawaran ini tentu saja melegakan. Namun perlu diingat, bahwa dengan keberadaan pasukan salah satu negara pemilik kapal yang melalui Selat Malaka dan Selat Singapura ada di wilayah perairan kita, maka akan berbondong-bondonglah negara-negara lain yang mempunyai kepentingan yang sama datang ke wilayah Indonesia, dengan alasan mengamankan kapalnya yang lewat. Bagaimana dengan jasa pengamanan swasta? Tentu juga akan berperan untuk alasan pengamanan. Apabila hal ini terjadi, apa jadinya dengan kedaulatan negara?

Pelaksanaan EiS

Bertolak dari pemikiran untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan wilayah perairan Selat Malaka dan Selat Singapura sekaligus menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah, maka negara-negara yang berbatasan langsung dengan jalur pelayaran tersebut, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura, serta Thailand sebagai observer melakukan kegiatan patroli maritim gabungan. Pelaksanaan patroli laut gabungan dilaksanakan sejak bulan Juli 2004 yang dilanjutkan dengan patroli udara gabungan sejak bulan September 2004. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan patroli laut dan udara gabungan dapat berjalan lancar dan aman, maka pada tanggal 21 April 2006, dilaksanakan penandatanganan Standard Operating Procedure (SOP), Malacca Straits Patrol : Indonesia-Malaysia-Singapore di Batam.

SOP yang ditandatangani pada tanggal 21 April 2006 di Batam tersebut mengatur pelaksanaan patroli maritim gabungan, yang terdiri dari patroli laut dan patroli udara gabungan, yang disebut sebagai Malacca Straits Patrols (MSP) dan terdiri dari Malacca Straits Sea Patrols (MSSP) dan Eyes in the Sky (EiS). Pada pelaksanaan EiS, patroli dijadwalkan bergantian diantara ketiga negara yang terlibat, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura, sedangkan Thailand masih bertindak sebagai observer. Negara yang memperoleh jadwal untuk mengirim pesawat berkewajiban menyertakan personel yang tergabung sebagai Combined Mission Patrol Team (CMPT) serta menugaskan awak pesawat senior sebagai Mission Commander, sedangkan dua negara yang lain mengirimkan personel sebagai perwakilan dengan jumlah personel maksimal dua perwira untuk tiap-tiap negara.

Apabila dijadwalkan pesawat yang digunakan untuk mendukung EiS adalah pesawat dari Indonesia, maka penugasan diberikan kepada TNI AU atau TNI AL secara bergantian. Pesawat TNI AU yang digunakan yaitu salah satu diantara pesawat Cassa C-212, Fokker-27, atau CN-235, dengan crew pemotretan udara sebanyak dua orang. Dengan adanya tim pemotretan udara, maka data yang diperoleh CMPT berupa foto udara digital untuk sasaran kapal-kapal yang melintas di perairan Selat Malaka.

Selama ini EiS dilaksanakan berdasarkan jadwal yang dikeluarkan sebulan sekali oleh EiS Operation Centre Koopsau I, yang tentunya sudah berkoordinasi dengan EiS Operation Centre Malaysia dan Singapura. Untuk Indonesia, pelaksanaan EiS mempunyai dua homebase, yaitu Medan dan Batam. Wilayah operasi dibagi menjadi 4 sektor, yang sudah ditentukan koordinat batasnya.

Pelaksanaan patroli yang dilaksanakan TNI AU melibatkan pelaksanaan pemotretan udara oblique, dimana operator kamera udara memotret sasaran dari pintu pesawat yang dibuka. Untuk langkah pengamanan, juru pemotretan udara (JPU) diikat tali pengaman yang ada di dalam pesawat. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena seharusnya untuk tujuan patroli maritim semacam ini, pesawat yang digunakan mempunyai pintu kaca yang anti distorsi, sehingga JPU dapat melaksanakan tugas pemotretan udara melalui pintu kaca pesawat. Kamera udara yang digunakan untuk pemotretan udara tersebut diintegrasikan dengan peralatan penentu posisi yaitu Global Positioning System (GPS), sehingga posisi maupun ketinggian pesawat serta posisi target dapat diketahui. Foto udara yang diperoleh digunakan sebagai lampiran dalam laporan Mission Commander kepada EiS Operation Centre yang ada di Koopsau I. Pada saat pelaksanaan patroli, apabila ada kejadian yang mempunyai indikasi adanya tindak kejahatan di perairan, Mission Commander juga harus langsung melaporkan kejadian tersebut melalui radio yang ada di pesawat ke Monitoring and Action Agency (MAA).

MAA adalah sebuah badan yang dibentuk di tiap-tiap negara yang terlibat dalam EiS dan menerima laporan dari Mission Commander apabila ada dugaan tindak kejahatan. MAA akan berkoordinasi antar MAA dari negara lain apabila ada tindakan yang perlu diambil dengan adanya laporan dari Mission Commander tentang kegiatan yang mencurigakan di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura.

Setelah mendapatkan laporan dari pesawat patroli, MAA akan berkoordinasi dan TNI AL sebagai institusi yang berwenang untuk melakukan penindakan di laut akan bertindak sesuai prosedur.

Sesuai tujuan EiS diharapkan adanya penurunan tingkat kejahatan di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura, sekaligus tetap menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan negara.

PENGALAMAN KE RTAF (THAILAND)

Umum

Tulisan ini merupakan ulasan singkat penulis atas hasil kunjungan ke Royal Thai Air Force (RTAF) / Thailand, dalam rangka mengikuti Exchange Visit TNI AU ke RTAF pada tanggal 22 sampai dengan 29 Juni 2005. Salah satu tujuan kegiatan Exchange Visit TNI AU ke RTAF ini adalah untuk menambah wawasan para Perwira TNI AU, sehingga pengetahuannya akan berguna bagi TNI AU, serta mengenal budaya yang ada di Thailand. Kunjungan dilaksanakan ke RTAF HQ, Bangkok City dan daerah Thailand Utara, yaitu, Phitsanulok dan Chiang Mai.



Sekilas tentang Thailand

Kerajaan Thailand berbatasan dengan Myanmar (Burma) di sebelah utara dan barat, berbatasan dengan Laos di sebelah timur laut, dengan Cambodia dan Gulf of Thailand (Siam) di sebelah tenggara, dengan Malaysia di sebelah selatan, dan dengan laut Andaman di sebelah barat daya.

Thailand juga dikenal sebagai Muang Thai, yang berarti ‘tanahnya orang Thai’. Thailand, dulunya disebut Siam, yang secara resmi diubah menjadi Thailand pada tahun 1938, adalah sebuah negara kerajaan dengan raja yang sekarang berkuasa dari dinasti Chakri yaitu His Majesty King Rama IX. Rama IX (1927- ), mempunyai nama kecil Bhumibol Adulyadej, dan secara resmi diangkat menjadi King Rama IX pada tanggal 5 Mei 1950. Sebagai negara kerajaan, rakyat Thailand sangat menghormati Raja dan Ratu, yaitu His Majesty King Rama IX dan Her Majesty Queen Sirikit.

Agama resmi di Thailand adalah Buddha, dengan sebagian kecil lainnya adalah Kristen Khatolik dan Muslim. Dengan demikian, sudah menjadi hal yang umum apabila di hampir seluruh kota di Thailand terdapat banyak kuil/temple, atau dalam bahasa Thai disebut Wat.




Bangkok

Bangkok adalah ibukota Thailand, yang terletak di bagian tengah Thailand. Bangkok dilewati sungai besar yaitu Chao Phraya River, yang merupakan gabungan dari Ping River dan Nan River. Orang Thailand menyebut Bangkok dengan Krung Thep, yang berarti Kota Bidadari. Bahkan orang Eropa menyebutnya “Venice of the East”, sebab Bangkok mempunyai banyak sungai/khlong.

Tempat wisata terkenal di Bangkok yaitu the Grand Palace, komplek istana Raja yang dibangun pada tahun 1782. Keberadaan the Grand Palace akan selalu menimbulkan image tentang Wat Phra Kaeo (Temple of the Emerald Buddha), yang dikagumi karena terpeliharanya bangunan berarsitektur abad 19, yang dibangun pada masa pemerintahan King Rama IV dan King Rama V. Sedangkan Angkor Wat yang ada di Kamboja, tiruannya juga dibuat di Grand Palace.


Phitsanulok

Phitsanulok merupakan sebuah kota yang terletak di tengah Thailand utara, dan berjarak sekitar 400 km arah utara Bangkok, serta merupakan ibukota propinsi Phitsanulok. Seperti Bangkok, Phitsanulok juga dilewati sebuah sungai besar, yaitu Nan River, atau Mae Nam Nan. Salah satu kuil terkenal di kota ini yang berisi patung perunggu Budha pada abad 15 dikenal dengan nama the Phra Buddha Jinaraj.



Chiang Mai

Chiang Mai didirikan pada tahun 1296 sebagai pusat dari the Lanna Thai Kingdom. Chiang Mai, atau disebut juga Chiengmai atau Kiangmai, adalah kota di Thailand utara, yang merupakan ibukota propinsi Chiang Mai, berjarak sekitar 700 km arah utara Bangkok. Jarak antara Chiang Mai dengan perbatasan Myanmar sejauh 130 km. Sungai yang membelah kota Chiang Mai yaitu Ping River, sedangkan kuil yang terkenal adalah Wat Phrathat Doi Suthep. Universitas terkenal yang ada di Chiang Mai yaitu Chiang Mai University yang didirikan pada tahun 1964.



Jamuan Makan Malam

Salah satu budaya di Thailand yang sedikit berbeda dengan budaya di Indonesia adalah tentang tata cara dinner. Budaya tata cara dinner yang dilakukan oleh orang Indonesia yaitu mengambil nasi dan meletakkannya di piring lengkap dengan lauk yang disajikan secara bersamaan, dan disantap bersamaan pula. Sedangkan orang Thailand, mereka mengambil nasi dalam porsi kecil dan lauk cukup satu macam. Setelah diselingi dengan percakapan dengan tamu yang lain, dilanjutkan dengan mengambil lauk yang lain lagi, dilanjutkan dengan percakapan lagi. Demikian seterusnya sampai hidangan habis atau waktu yang tersedia habis. Rata-rata waktu untuk makan malam sekitar 3 jam. Biasanya dinner dilakukan antara pukul 6.30 sampai 9.30 malam.


Royal Thai Air Force (RTAF)

RTAF mempunyai markas besar di Don Muang, sekitar 15 km ke arah utara Central Bangkok, sejak tahun 1914, pada saat masih menjadi bagian dari Angkatan Darat, yaitu bernama the Army Aviation Section. Sedangkan the Royal Thai Air Force dibentuk sejak tahun 1937. Don Muang, berarti ‘Tanah Tinggi’ Di Don Muang Air Force Base, terdapat kantor markas besar yang berbentuk bangunan dengan delapan sayap, RTAF Academy, RTAF Museum, Wing 6, beberapa kantor lain, serta fasilitas perumahan bagi personel RTAF.


RTAF Woman

Berbeda dengan WARA yang ada di TNI AU yang mempunyai Si Bin WARA, RTAF Woman tidak mempunyai bagian/seksi/unit yang mengatur dan membina keberadaan mereka. Dengan demikian, data-data tentang keberadaan RTAF Woman secara keseluruhan tidak berada pada satu bagian/unit khusus. Hal ini diakibatkan pula karena sumber penerimaan RTAF Woman berasal dari tiga sumber yang berbeda, yaitu lulusan universitas, sekolah perawat RTAF, dan lulusan SMA atau universitas sebagai non Commissioner Officer (NCO). Dari ketiga sumber tersebut, tanggung jawab penerimaan Officer dari sekolah perawat RTAF berada pada Directorate of Medical, sedangkan dua sumber yang lain berada pada Directorate of Personnel. Satu hal lain yang menarik adalah, 99% guru bahasa Inggris di RTAF adalah RTAF Woman Officer. Sampai saat ini, belum ada RTAF Woman yang dididik sebagai penerbang.