Senin, 10 Maret 2008

S2 di luar negeri?

Saya sering mendapatkan SP dari kantor untuk mengikuti seminar, presentasi atau pelatihan di luar TNI AU, yang berhubungan dengan pemetaan. Pada kesempatan seperti itu, saya selalu bertemu dengan teman-teman satu alumni S1. Kalau mereka membahas perkembangan ilmu di dunia pemetaan, saya kadang-kadang, atau mungkin juga sering merasa tertinggal. Yang ada dalam angan-angan saya, bagaimana caranya agar, paling tidak, saya tahu apa perkembangan terbaru di dunia pemetaan, dan yang bisa saya lakukan untuk TNI AU, atau sekali lagi paling tidak, untuk Dissurpotrudau. Terlalu muluk? Mungkin, kalau hanya saya yang berpikir seperti itu. Tapi harapan saya, dan saya yakin 30 lebih Perwira di Dissurpotrudau juga berpikir seperti apa yang saya pikirkan. Kalau kondisinya seperti itu, pemikiran saya bukanlah suatu pemikiran yang muluk, justru pemikiran yang sederhana dari seorang Pama.

Apa mungkin, melanjutkan sekolah pada jenjang S2?
Para dokter mendapatkan kesempatan mengambil program spesialist, juga S2. Kenapa yang lain tidak?
Pertanyaan itu yang ada di benak saya, sampai setahun yang lalu. Sebelumnya, informasi yang saya peroleh adalah S2 di dalam negeri, biaya dari TNI AU atau Mabes TNI, khusus buat para Gadik AAU. (Pemikiran yang salah?) Jadi, kesempatan yang ada hanya S2 luar negeri, tapi, bagaimana caranya? Dari mana dapatnya? Dari mana informasinya? Buntu.
Tiba-tiba, pada upacara Hari Bakti TNI AU di TMP Kalibata tahun lalu, salah seorang senior WARA dari Binprof Sus Mabes AU menawarkan kesempatan S2 di Australia, yang test nya akan dilaksanakan dalam tiga minggu setelah itu. Jadi ada? Dan ternyata tidak hanya di Australia saja.

Bagaimana jalannya?
Persyaratan yang paling berat adalah test kemampuan Bahasa Inggris. Saya bukan dari komuniti Bahasa Inggris, dan bahasa Inggris saya amburadul. Tetapi senior saya di kantor selalu mendorong kami, para Pama, untuk mengambil kursus bahasa Inggris di luar. Karena kami tahu, bahwa untuk mengikuti KIBI (Halim maupun Dephan) banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk kesempatan yang harus bergantian dengan teman sejawat maupun karena mendapatkan penugasan keluar dari satker. Mengikuti saran senior, saya sempatkan mengikuti kursus di LIA Pengadegan (belakang Lakespra Saryanto) selama hampir 2 tahun, 4 jam pertemuan seminggu. Pengorbanan tenaga, materi dan waktu. Namun nasib baik berpihak kepada saya. Awal Januari 2002 saya mendapat kesempatan untuk mengikuti test KIBI di Pusdiklat Bahasa Dephan. Terima kasih kepada Kadissurpotrudau (saat itu). Pada rapat staf, Beliau menawarkan, “Itu, kalau ada yang mau kursus, SP kan untuk test. Siapa saja, jangan yang tidak mau disuruh test” Dari situlah, saya melangkah untuk mempercepat kemampuan bahasa Inggris, dan saat itu saya tidak berhenti kursus di LIA, bahkan pada awal kursus bulan Maret 2002 saya sedang ujian kenaikan tingkat. Meskipun saya di KIBI masuk Advanced Class, saya masih tidak punya bayangan, bagaimana mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri. Apalah arti kemampuan bahasa Inggris saya, kalau dibandingkan dengan teman sekelas saya pada saat itu, mereka benar-benar mumpuni, dan sekarang sebagian dari mereka sedang S2 di luar negeri juga.


Susah?
Seleksi untuk mendapatkan Australian Defence Scholarship ini yang harus diikuti adalah test Bahasa Inggris, baik di Pusdiklat Bahasa Dephan (Pondok Labu) untuk test ADFELPS, maupun di IDP Pondok Indah untuk test IELTS. Mungkin bagi yang mengantongi kemampuan Bahasa Inggris, test ini tidak menjadi soal, terutama bagi komuniti Bahasa Inggris, asalkan ada peluang (ijin dari kantor). Namun bagi yang kemampuan Bahasa Ingrisnya pas-pasan, benar-benar susah. Kalau dibandingkan dengan test untuk candidate AusAID, candidate dari Defence lebih ringan persyaratannya. Kalau dari AusAID, ada test wawancara, diantaranya menanyakan apa kaitan antara program Master atau PhD yang akan mereka ambil dengan pekerjaan yang dilaksanakan sekarang. Tetapi untuk candidate Defence, tidak ada test wawancara, murni hanya kemampuan Bahasa Inggris, dan yang tidak kalah penting ijin dari Satker. Untuk ini terima kasih saya kepada Kadissurpotrudau, waktu itu dan yang sekarang, Kasubdis, serta Kabag Binprof di Dissurpotrudau (waktu itu).

Jurusan Apa?
Itu pertanyaan berikut yang ada di benak saya setahun yang lalu.
Daftar yang saya peroleh dari Binprof Sus maupun Disdik Mabes AU, yang nota bene diperoleh dari IDP, tidak mencakup bidang penugasan saya, pemetaan. Bagaimana mungkin saya akan mengambil program Master, kalau latar belakangnya saya tidak tahu? Namun setelah saya tanyakan ke staff Defence kedutaan Australia dan juga ke IDP Pondok Indah, mereka menjelaskan bahwa saya bisa mengambil jurusan apa saja, asalkan nilai test Bahasa Inggris (IELTS) saya memenuhi persyaratan dari universitas yang bersangkutan. Pernyataan yang melegakan. Kemudian apa?

Beruntung, saya mempunyai teman kuliah di S1 dulu yang sedang mengambil program Master di Australia. Saya bisa tahu perkembangan teman-teman kuliah S1 saya, karena kami punya mailing list di internet, dan paling tidak, seminggu sekali saya buka internet di rumah, untuk melihat kalau ada perkembangan, terutama di bidang keilmuan saya serta informasi dari teman-teman saya. Namun saya tidak search website, karena sambungan internet saya ‘dial up’ ke Telkom, jadi teman saya itu mengirimkan informasi universitas-universitas di Australia yang punya jurusan pemetaan, dan berdasarkan informasi itu saya search internet langsung untuk memutuskan universitas mana yang akan saya pilih, kalau nilai IELTS saya mencukupi. (kata ‘IELTS’ benar-benar suatu kata yang menyeramkan).
Ternyata, mau mengambil universitas mana saja di Australia, dan jurusan apa saja, bisa dan boleh, kesempatan terbuka lebar, kalau persyaratan Bahasa Inggris sudah terpenuhi. Jadi tidak hanya terpaku pada daftar yang ada di Disdik, nota bene daftar dari IDP. Karena IDP membuat dafatar itu berdasarkan jurusan yang selama ini sudah pernah di ambil mahasiswa Indonesia (TNI), dan IDP belum tahu jurusan apa saja yang dibutuhkan di TNI. Jadi mereka akan sangat terbantu, apabila kita tahu apa yang kita butuhkan.
Selain itu, pihak Australian Defence juga akan lebih senang, kalau kita kuliah benar-benar sesuai pekerjaan kita, bukan asal dapat kesempatan ke luar negeri. Hal ini terungkap pada ‘Monitoring Visit’ pihak Australian Defence dan IDP (Canberra) tanggal 14 Mei yang lalu di ‘The University of Melbourne’, universitas tempat saya kuliah. Mereka, Australian Defence dan IDP Canberra rutin melaksanakan ‘monitoring visit’ tiap semester ke universitas-universitas yang ada siswa dari Australian Defence Scholarship.

Apa selanjutnya?
Setelah saya lulus IELTS, yang diselenggarakan IDP Pondok Indah, kami berlima (2 TNI AU, 1 TNI AD, 1 TNI AL (KOWAL), dan 1 PNS) berangkat ke Melbourne, tepatnya ke Laverton (DITC), untuk belajar, lagi, Bahasa Inggris Australia, sekalian dengan budaya Astralia. Setelah 16 minggu, lagi, kami harus mengikuti test IELTS. Namun tahapan ini bisa berubah, tergantung kondisi setiap kelompok yang berangkat. Dan memang berbeda dengan kelompok yang berangkat berikutnya. Berdasarkan hasil test IELTS yang terakhir ini akan diketahui diterima di universitas mana.

Masuk Universitas, sulitkah?
Secara akademis, tergantung latar belakang ilmu yang diambil. Kalau jurusannya berbeda dari ilmu di S1, biasanya semester pertama untuk program Graduate Diploma, kemudian 2 semester berikutnya baru program Master. Itu kalau Program Masternya 1 tahun, bisa nyebrang jurusan, dan hal itu biasa terjadi di Australia, asalkan bisa cepat menyesuaikan dengan ilmu yang baru.
Tapi jurusan yang saya ambil, program Masternya memang sudah 3 semester. Master by coursework, 2 semester kuliah, 1 semester research, tapi untuk Master by research, 1 semester pertama kuliah, 2 semester research. Bedanya, kalau Master by research, untuk aplikasi ke program PhD (S3) proposal researchnya tinggal ‘selangkah’. Tetapi sayang, Australian Defence Scholarship sampai saat ini belum membuka kesempatan bagi anggota TNI untuk mengambil program PhD.

Secara non akademis, lagi-lagi tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Yang saya maksud di sini, pertimbangan status. Sampai hal ini terungkap pada pertemuan kami, (mahasiswa S2 dan siswa kursus pendek (DITC) yang ada di Melbourne), dengan Kapusdiklat Bahasa Dephan tanggal 2 Juni yang lalu, Beliau mengistilahkan, bagi yang bujangan, bebannya hanya 1, jadi wajar kalau nilainya dapat A. Bagi yang membawa serta keluarga, bebannya 2, jadi wajar kalau nilainya dapat A minus, atau B. Dan bagi yang sudah berkeluarga, namun tidak bisa mengajak keluarganya, bebannya akan menjadi 3, jadi, dengan nilai B atau C sudah wajar, karena beban moril berpisah dengan keluarga. Pada saat tulisan ini saya buat, di sini ada tiga senior saya dari TNI AU juga ke sini tanpa disertai keluarga.
Memang, kondisinya begitu, tapi bukan terus saya cukup puas kalau dapat C. Bukan itu yang saya mau. Saya akan berusaha yang terbaik.
Dalam hal ini, banyak senior atau teman-teman WARA yang sudah pernah kursus di DITC, atau tempat lain, yang bisa menceritakan, bagaimana beratnya hidup ‘sendiri’, jauh dari keluarga. Apalagi ditambah beban kuliah yang cukup berat.

Untuk pernyataan beban kuliah cukup berat ini, ada beberapa pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan, ‘Saya kuliah cukup santai saja, kenapa harus jungkir balik’. Ada yang berpendapat, ‘Ah, saya ngambil jurusannya yang ringan saja, biar nggak repot’. Ada juga yang mempertanyakan, ‘Apa yang saya cari dan nantinya saya dapatkan, dengan saya menyiksa diri cari tempat kuliah dan jurusan yang susah, tugas banyak, pakai research lagi’. Bahkan ada juga teman sesama peserta test komentar, ‘Ah, aku tidak lulus juga tidak apa-apa, toh, S2 juga tidak meningkatkan karir dan pangkat, yang penting kan jenjang sekolah di TNI AU diikuti dengan lengkap’. Mungkin semua ada benarnya.
Pemikiran orang memang lain-lain, dan semua akan berpulang ke pribadi masing- masing.

Memang bagi Kowan TNI, paling simple adalah yang datang ke sini (mengambil program S2 luar negeri) yang masih single. Karena tidak terbebani pemikiran ‘lain-lain’. Bagi yang sudah berkeluarga, kesempatan baik pula, apabila keluarga, suami dan anak-anak bisa ikut, bisa menambah pengalaman anak-anak, itu yang penting.
Terakhir bagi yang sudah berkeluarga, namun keluarga tidak bisa ikut, dengan berbagai pertimbangan, hal ini akan menjadi beban yang sangat berat. Beruntung saya mempunyai suami yang mendukung, karena kebetulan suami saya mempunyai latar belakang pendidikan yang sama dengan saya, jadi tahu persis apa yang sedang saya pelajari sekarang.

Siapa saja Kowan TNI yang sudah ke sini?
Sebelum saya masuk universitas, ada teman WARA yang kuliah di sini. Sebenarnya dia yang bisa menceritakan lebih banyak tentang bagaimana kehidupan di sini. Namun sudut pandang yang kami punya tentunya akan berbeda, karena status dan kemampuan Bahasa Inggris kami berbeda. Bagi dia dengan berbekal pengalaman hidup di Australia sebelumnya dan S1 Bahasa Inggris, untuk mendapatkan kesempatan ke sini tentu akan lebih mudah.
Sebelumnya ada juga senior dari KOWAD, dan dia bisa mengajak keluarganya. Selebihnya anggota TNI pria.
Harapan saya
Saya pernah mengajak dan menyarankan teman saya yang masih tinggal di mess WARA, mumpung masih belum ada ‘tanggung jawab’ carilah kesempatan, ya mungkin bisa dimulai dari kursus Bahasa Inggris di luar, atau kalau sore di Sebasa Halim (Skadik 505). Kalau ada kesempatan bisa dipecepat prosesnya dengan mengikuti KIBI (namanya juga intensif).
Senior saya di kantor selalu mengingatkan kami para Pama, siap-siap terus dengan kemampuan Bahasa Inggris, karena penawaran test tidak akan datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu, namun akan datang mendadak. Dan kemampuan bahasa tidak akan bisa didapatkan dalam sekejap, perlu proses yang cukup lama.
Dan kalau boleh saya berharap, semoga adik-adik WARA ada semangat dan kemauan untuk menempuh jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Meskipun saya tahu, kualitas diri tidak cukup diukur hanya dari satu sudut. Dan saya tahu juga, S2 bukan segala-galanya, masih banyak kualitas lain, yang patut untuk dikompetisikan menuju yang terbaik. Saya tahu persis itu. Kenapa adik-adik? Karena teman-teman saya atau senior saya mungkin pertimbangannya akan lebih banyak, terutama pertimbangan keluarga, kalau harus pergi cukup jauh dan lama.

Di sini saya hanya menggambarkan apa yang saya alami. Dan sebenarnya S2 tidak hanya di Australia saja (yang bukan biaya dari TNI AU atau Mabes TNI). Barangkali informasi yang lebih jelas tentang bagaimana mengikuti program Master bisa diperoleh di Disdik AU.

SELAMAT ULANG TAHUN WARA

Melbourne, 7 Juni 2003

Tidak ada komentar: